top of page

Konsep Perancangan


Konsep perancangan yang digunakan pada kawasan Tambak Mulyo adalah ecological silvofishery, yang merupakan penggabungan dari konsep ecological dan konsep silfofishery


Konsep Ecological

Pembangunan perkotaan di Indonesia seringkali mengabaikan aspek lingkungan hidup dan keberlanjutan ekosistem di kawasan tersebut,

sehingga berdampak terhadap menurunnya kualitas hidup warga di perkotaan. Salah satu cara untuk menjaga keselarasan antara pembangunan perkotaan dan ekosistemnya adalah dengan menerapkan pendekatan konsep perancangan ekologis (ecological design) pada kawasan yang akan dikembangkan. Menurut Ken Yeang (dalam Pontoh, 2010), perancangan ekologis ialah suatu proses desain dimana perancangnya meminimalisir dan mengantisipasi secara komprehensif segala dampak merugikan dari produk suatu proses desain terhadap ekosistem dan sumberdaya bumi serta pemberian prioritas terhadap penyisihan yang terus berjalan dan menimalisir dampak-dampak merugikan tersebut.Ekologi biasanya dimengerti sebagai hal-hal yang saling mempengaruhi segala jenis makhluk hidup (tumbuhan, binatang, manusia) dan lingkungannya (cahaya, suhu, curah hujan, kelembapan, topografi, dsb). Demikian juga proses kelahiran, kehidupan, pergantian generasi, dan kematian yang semuanya menjadi bagian dari pengetahuan manusia. Proses itu berlangsung terus dan dinamakan sebagai ‘hukum alam’. Ekologi didefinisikan sebagai ilmu tentang hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Istilah ekologi pertama kali diperkenalkan oleh Haeckel, seorang ahli biologi, pada pertengahan dasawarsa 1860-an. Ekologi berasal dari bahasa Yunani, oikos yang berarti rumah, dan logos yang berarti ilmu, sehingga secara harafiah ekologi berarti ilmu tentang rumah tangga makhluk hidup.

Ekolog De Bel mengemukakan, bahwa ekologi adalah suatu “study of the total impact of man and other animals on the balance of nature”. Rumusan ekologi yang menekankan pada hubungan makhluk hidup dikemukakan dalam buku William H. Matthews et. Al. sebagai berikut: “ecology focuses the interrelationship between living organism and their environment”, sedang rumusan Joseph van Vleck lebih mengetengahkan isi dan aktivitas hubungan makhluk hidup, yaitu “ecology is study of such communities and how each species takes to meet its own needs and contributes toward meeting the need of its neighbours”. Definisi ekologi menurut Otto Soemarwoto adalah “ilmu tentang hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya”.

Konsep Ekologi ini mengacu pada konsep ekowisata (ecotourism). Ekowisata merupakan bentuk wisata yang dikelola dengan pendekatan konservasi. Apabila ekowisata pengelolaan alam dan budaya masyarakat yang menjamin kelestarian dan kesejahteraan, sementara konservasi merupakan upaya menjaga kelangsungan pemanfaatan sumberdaya alam untuk waktu kini dan masa mendatang. Hal ini sesuai dengan definisi yang dibuat oleh The International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (1980), bahwa konservasi adalah usaha manusia untuk memanfaatkan biosphere dengan berusaha memberikan hasil yang besar dan lestari untuk generasi kini dan mendatang. Sementara itu destinasi yang diminati wisatawan ecotour adalah daerah alami. Kawasan konservasi sebagai obyek daya tarik wisata dapat berupa Taman Nasional, Taman Hutan Raya, Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Wisata dan Taman Buru. Tetapi kawasan hutan yang lain seperti hutan lindung dan hutan produksi bila memiliki objek alam sebagai daya tarik ekowisata dapat dipergunakan pula untuk pengembangan ekowisata. Area alami suatu ekosistem sungai, danau, rawa, gambut, di daerah hulu atau muara sungai dapat pula dipergunakan untuk ekowisata.

Eco Coastal Tourism menjadi salah satu bagian dari ekowisata, yaitu wisata pesisir yang berbasis pada ekowisata, dimana ekowisata atau ekoturisme merupakan salah satu kegiatan pariwisata yang berwawasan lingkungan dengan mengutamakan aspek konservasi alam, aspek pemberdayaan sosial budaya ekonomi masyarakat lokal serta aspek pembelajaran dan pendidikan. Ekowisata dimulai ketika adanya dampak negatif pada kegiatan pariwisata konvensional. Dampak tersebut berupa kerusakan lingkungan, terpengaruhnya budaya lokal secara tidak terkontrol, berkurangnya peran masyarakat setempat dan persaingan bisnis yang mulai mengancam lingkungan, budaya dan ekonomi masyarakat setempat. Dampak negatif ini bukan hanya dikemukakan dan dibuktikan oleh para ahli lingkungan tapi juga para budayawan, tokoh masyarakat dan pelaku bisnis pariwisata itu sendiri.

Pada mulanya ekowisata dijalankan dengan cara membawa wisatawan ke objek wisata alam yang eksotis dengan cara ramah lingkungan. Proses kunjungan yang sebelumnya memanjakan wisatawan namun memberikan dampak negatif kepada lingkungan mulai dikurangi. Dimana eco coastal tourism ini melingkup tiga elemen utama yaitu Konservasi, Eksplorasi pantai dan Pemberdayaan masyarakat.


1. Konservasi

Konservasi disini terkait dengan pelestarian lingkungan dan habitat, serta ekosistem yang ada di wilayah pesisir. Konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. (UU No 5 Tahun 1990).Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan:

  • Perlindungan sistem penyangga kehidupan

  • Pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya

  • Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

Konservasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan tetap memelihara. (UU No 27 tahun 2007)


2. Eksplorasi Pantai

Eksplorasi pantai merupakan wujud upaya dalam menunjukkan sumber daya alam yang berorientasi pada keindahan suatu obyek wisata pantai. Upaya eksplorasi pantai merupakan salah satu langkah yang dinilai sangat penting dalam perancangan kembali kawasan obyek wisata alam. Dimana pantai memiliki keindahan yang dapat dieksplorasi untuk meningkatkan daya tarik pengunjung. Eksplorasi pantai dapat ditunjukkan dengan adanya atraksi wisata yang ditawarkan di obyek wisata alam pantai. Selain itu juga dapat ditunjang dengan keindahan pemandangan alam atau view yang disuguhkan kepada para pengunjung.


3. Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan sebagai proses mengembangkan, memandirikan, menswadayakan, memperkuat posisi tawar menawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatan penekan di segala bidang dan sektor kehidupan (Sutoro Eko, 2002). Pemberdayaan Masyarakat adalah suatu strategi yang digunakan dalam pembangunan masyarakat sebagai upaya untuk mewujudkan kemampuan dan kemandirian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (Permendagri No 27 Tahun 2007).


Konsep Silvofishery

Sumber daya perikanan di wilayah hutan mangrove sangat kaya sehingga sering dieksploitasi secara berlebihan, misalnya dijadikan lahan tambak. Sebagai contoh area mangrove di Kabupaten Berau terutama di Delta Berau, banyak dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya tambak udang. Namun sayangnya budidaya tambak dilakukan dengan cara membuka area mangrove, sehingga fungsi ekologis ekosistem mangrove hilang. Hal ini dapat menjadi ancaman bagi keberlanjutan sumberdaya perikanan. Mengacu pada Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, maka dasar penetapan sasaran rehabilitasi kawasan mangrove dan sempadan pantai adalah sebagai berikut:

  1. Kriteria sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proposional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat (Pasal 14, Keppres No. 32 Tahun 1990);

  2. Perlindungan terhadap kawasan pantai berhutan bakau dilakukan untuk melestarikan hutan bakau sebagai pembentuk ekosisitem hutan bakau dan tempat berkembangbiaknya berbagai biota laut, disamping sebagai perlindungan pantai dari pengikisan air laut serta perlindungan usaha budidaya dibelakangnya (Pasal 26, Keppres No. 32 Tahun 1990);

  3. Kriteria kawasan pantai berhutan bakau adalah minimal 130 kali nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah tahunan diukur dari garis air surut terendah ke arah darat (Pasal 27, Keppres No. 32 Tahun 1990).

Di dalam undang-undang No.27 tahun 2007 tentang pengolahan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil pada bagian ketiga pasal 9 ayat 3 diamanatkan bahwa perencanaan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dilakukan dengan mempertimbangkan keserasian, dan keseimbangan daya dukung ekosistem, fungsi pemanfaatan dan fungsi perlindungan, dimensi ruang dan waktu, dimensi teknologi dan sosial budaya, serta fungsi pertahanan dan keamanan.

Menurut Kusmana (2009), ekosistem mangrove harus dikelolah berdasarkan pada paradigma ekologi yang meliputi prinsip-prinsip interdependensi antar unsur ekosistem, sifat siklus dari proses ekologis, fleksibilitas, diversitas dan koevolusi dari organisme beserta lingkungannya dalam suatu unit fisik DAS dan merupakan bagian integral dari program PWPLT (Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Terpadu). Alternatif pemanfaatan daerah pesisir yang bersifat multiple-use dimana mangrove sebagai salah satu unsur ekosistemnya. Menurut Triyanto, dkk. (2012), budidaya sistem silvofishery di dalam area hutan mangrove memungkinkan adanya budidaya perikanan tanpa perlu mengkonversi area mangrove. Dengan alternatif pengelolaan seperti ini diharapkan dapat meningkatkan nilai ekonomi hutan mangrove, tanpa mengancam fungsi ekologisnya.

Komoditas perikanan yang sesuai untuk budidaya di air payau kawasan mangrove adalah kepiting bakau (Scylla serrata), ikan bandeng (Chanos chanos), udang windu (Penaeus monodon), udang vanamei (Penaeus vannamei), ikan patin (Pangasius pangasius), ikan kakap (Lates calcarifer), rumput laut. Sedangkan komoditas perikanan yang sesuai untuk budidaya silvofishery di kawasan mangrove adalah kepiting bakau. Kepiting bakau mempunyai karakteristik yang sedikit berbeda dengan komoditas lainnya karena kemampuannya untuk bertahan hidup dalam kondisi kurang air. Oleh karena itu membudidayakan kepiting tidak memerlukan tambak yang luas (Triyanto, dkk., 2012).

Penanaman benih atau bibit mengrove dalam sistem wanamina yaitu dengan membuat tambak atau kolam dan saluran air untuk budidaya ikan seperti ikan bandeng, udang, dan lain-lain. Dengan demikian terdapat perpaduan antara tanaman mangrove (wana) dan budidaya sumberdaya ikan (mina). Ada banyak cara dalam memanfaatkan mangrove secara lestari, diantaranya ada lima bentuk utama, yaitu: (a) tambak tumpangsari, dengan mengkombinasikan tambak dengan penanaman mangrove; (b) hutan rakyat, dengan pengelolaan yang berkelanjutan dengan siklus tebang 15-30 tahun atau tergantung dari tujuan penanaman; (c) budaya memanfaatkan mangrove untuk mendapatkan hasil hutan selain kayu seperti kegiatan DKP (Pemerintah) dan LPP Mangrove (Pemerhati) berhasil memanfaatkan buah dan daun mangrove sebagai bahan baku beragam makanan kecil dan minuman sirup karena berdasarkan penelitian laboratorium, buah mangrove mengandung gizi seperti karbohidrat, energi, lemak, protein dan air; (d) silvofishery (mina hutan); dan (e) bentuk kombinasi pemanfaatan mangrove yang simultan (Diposaptono,S. dkk., 2009).

Pengelolaan budidaya ikan/udang di tambak melalui konsep silvofishery, disamping sangat efisien juga mampu menghasilkan produktivitas yang cukup baik dengan hasil produk yang terjamin keamanannya karena merupakan produk organik (non-cemical). Bukan hanya itu konsep ini juga mampu mengintegrasikan potensi yang ada sehingga menghasilkan multiple cash flow atau bisnis turunan antara lain adalah bisnis wisata alam (eco-taurism business) yang sangat prospektif, pengembangan UMKM pengolahan produk makanan dari buah mangrove, disamping bisnis turunan lainnya. Jenis komoditas perikanan yang dapat dikembangkan dalam silvofishery antara lain : kakap, kerapu, bandeng, atau baronang, jenis Crustase (Udang, Kepiting Bakau dan Rajungan), Kerang-kerangan (Kerang hijau atau kerang bakau).

Silvofishery merupakan pola pendekatan teknis yang terdiri atas rangkaian kegiatan terpadu antara kegiatan budidaya ikan, udang atau usaha kepiting lunak, dengan kegiatan penanaman, pemeliharaan, pengelolaan dan upaya pelestarian hutan mangrove. Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dengan menerapkan silvofishery, yaitu:

  1. Kontruksi pematang tambak akan menjadi kuat karena akan terpegang akar-akar mangrove dari pohon mangrove yang ditanam di sepanjang pematang tambak dan pematang akan nyaman dipakai para pejalan kaki karena akan dirimbuni oleh tajuk tanaman mangrove

  2. Hasil Penelitian Martosubroto dan Naamin (1979) menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara luas kawasan mangrove dengan poduksi perikanan budidaya dimana semakin meningkatnya luasan mangrove maka produksi perikanan budidaya juga turut meningkat.

  3. Salah satu nilai ekologis dari ekosistem mangrove telah digunakan sebagai pengolah limbah cair sejak 1990, percobaan lapangan dan eksperimen rumah hijau telah di ujikan efek dari penggunaan ekosistem mangrove untuk mengolah limbah. Hasil dari studi lapangan di pelestarian sumberdaya alam nasional futian, China, mengindikasikan penambahan konsentrasi polutan di lahan mangrove tidak menyebabkan terdeteksinya kerusakan pada tanaman mengrove, invertebrate bentik, atau spesies algae.

  4. Peningkatan produksi dari hasil tangkapan alam dan ini akan meningkatkan pendapatan masyarakat petani ikan.

  5. Mencegah erosi pantai dan intrusi air laut ke darat sehingga pemukiman dan sumber air tawar dapat dipertahankan

  6. Terciptanya sabuk hijau di pesisir (coastal green belt) serta ikut mendukung program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim global karena mangrove akan mengikat karbondioksida dari atmosfer dan melindungi kawasan pemukiman dari kecenderungan naiknya muka air laut.

Mangrove akan mengurangi dampak bencana alam, seperti badai dan gelombang air pasang, sehingga kegiatan berusaha dan lokasi pemukiman di sekitarnya dapat diselamatkan

Featured Posts
Recent Posts
Search By Tags
No tags yet.
Follow Us
  • Facebook Classic
  • Twitter Classic
  • Google Classic
bottom of page